Senin, 08 Desember 2014

KESADARAN HIDUP


silahkan kliK EDY EDY.COM

Islamisasi Ilmu Sekuler
Oleh: Dr Hamd FahmyZarkasyi

Sekitar tahun 1992 Prof. Dr. Mukti Ali disela-sela sebuah seminar di Gontor tiba-tiba bergumam, “Bagi saya Islamisasi ilmu pengetahuan itu omong kosong, apanya yang diislamkan, ilmu kan netral”. Prof. Dr. Baiquni yang waktu itu bersama beliau langsung menimpali “Pak Mukti tidak belajar sains, jadi tidak tahu dimana tidak Islamnya ilmu (sains) itu”. 

Pak Mukti dengan antusias, menyahut “Masa iya, bagaimana itu?”, “Sains di Barat itu pada tahap asumsi dan presupposisinya tidak melibatkan Tuhan, alam ini dianggap bukan ciptaan Tuhan” jawab Baiquni. “Maka dari itu” lanjutnya, “ilmu yang dihasilkan adalah ilmu yang sekuler dan bahkan anti Tuhan”. Pak Mukti dengan kepolosan dan sikap akademiknya spontan menjawab lagi “Oh begitu”. Diskusi terus berlangsung dan soal ilmu serta Islamisasinya menjadi topik menarik.
Benarkah ilmu pengetahuan masa kini itu tidak mengakui adanya Tuhan. Pernyataan Prof. Baiquni sejalan dengan apa kata R.Hooykaas dalam Religion and The Rise of Modern Science. 

Di Barat dunia
dulunya digambarkan sebagai organisme, tapi sejak datangnya Copernicus hingga Newton bergeser menjadi mekanisme. Pergeseran cara pandang ini pada abad ke 17 telah diprotes pengikut Aristotle. Menurut mereka pandangan terhadap dunia yang mekanistis itu telah menggiring manusia kepada ateisme (kekafiran).
Tapi pendukung mekanisme seperti Beeckman, Basso, Gasendi dan Boyle tidak terima. Dengan dalih konsep mukjizat, Boyle misalnya, beralasan, gambaran mekanistis bisa juga religius. Karena jika materi dan gerak yang menjadi esensi organisme tidak cukup untuk menerangkan fenomena alam, maka ini berarti memungkinkan adanya intervensi Tuhan melalui mukjizat. 

Artinya masih ada peran Tuhan disitu. Tuhan bisa sewaktu-waktu turun tangan mempengaruhi kausalitas alam semesta. Inilah occassionalisme yang menjadi doktrin Kristen hingga kini. Artinya Tuhan itu sangat transenden, berada jauh disana dan tidak terjangkau. Sementara alam berada disini dan tidak selalu dibawah pengawasan Tuhan. 

Menggambarkan dunia sebagai mekanisme berarti melihatnya sebagai mesin. Bagi yang ateis mesin itu ada dengan sendirinya. Bagi yang tidak ateis mesin itu diciptakan.
Tapi di Barat kekuasaan Pencipta itu direduksi dan akhirnya dihilangkan. Dunia dulu diciptakan namun kini bebas dari Penciptanya. Masih belum lama ketika Henri de Monantheuil seorang penulis Perancis, pada tahun 1599, menyatakan bahwa Tuhan adalah pencipta mesin dan ciptaanNya, yaitu dunia ini, berjalan bagaikan sebuah mesin. Tentu, ini membuat jamaah gereja berang. Tuhan gereja dianggap tidak ikut campur urusan dunia. 

Paham mekanisme tentang dunia inilah yang menguasai alam pikiran Barat modern. Paradigma positivisme dan empirisisme dalam sains Barat menjadi subur. Otoritas memahami dunia kini berpindah dari gereja ke tangan saintis.
Descartes, Gassendi, Pascal, Berkley, Boyle, Huygens dan Newton yang konon membela Tuhan, akhirnya merebut otoritas Tuhan. Kesombongan pemikir Yunani dengan ditiru dan jargonnya “Man is the standard of everything”. dinyanyikan ulang. Benar-salah, baik-buruk tidak perlu campur tangan Tuhan. Wahyu dikalahkan atau diganti dengan akal. 

Jika dulu gereja bisa marah pada Copernicus dan Galelio dan menghukum mati Bruno, kini hanya dapat menangisi ulah para saintis. Sementara para saintis seperti tidak mau repot dan mengambil posisi, “yang tidak bisa dibuktikan secara empiris bukan sains”.
Teologi tidak bisa masuk dalam sains. Bicara fisika tidak perlu melibatkan metafisika. Argumentasi Francis Bacon sangat empiristis “Ilmu berkembang karena kesamaan-kesamaan, sedangkan Tuhan tidak ada kesamaannya”. Maka dari itu dalam teori idola-nya Bacon mewanti-wanti agar tidak melakukan induksi berdasarkan keyakinan.

Selain itu Bacon juga mengakui, kita ini bodoh tentang kehendak dan kekua
saan Tuhan yang tersurat dalam wahyu dan tersirat dalam ciptaanNya. Descartes berpikiran sama kehendak Tuhan tidak dapat dipahami sehingga menghalangi jalan rasionalisme. Terus? “kita tidak perlu takut melawan wahyu Tuhan dan melarang meneliti alam ini” katanya.
Sebab tidak ada larangan dalam wahyu. Tuhan memberi
manusia hak menguasai alam. Oleh sebab itu kita bisa seperti Tuhan dan mengikuti petunjuk akal kita. Jadi, sebenarnya para saintis bukan tidak percaya Tuhan, tapi mereka kesulitan mengaitkan teologi dengan epistemologi. Tragedinya, standar kebenaran dan metode penelitian pun akhirnya dimonopoli oleh empirisisme rasional. Sebenarnya argumentasi Descartes dan Bacon masih belum beranjak dari pertanyaan Ibn Rusyd kepada al-Ghazzali. Namun karena Ibn Rusyd terlanjur lebih populer di kalangan gereja dengan Averoismenya, pikiran al-Ghazzali tidak dianggap.

E. Gillson dalam karyanya Revelation and Reason jelas sekali menyalahkan Ibn Rusyd. Sebab dengan teori kebenaran gandanya ia dianggap telah menabur benih sekularisme pada Descartes, Malebanche, David Hume dan pemikir Barat lainnya.
Tuhan tetap disembah dan diyakini wujudNya, tapi tidak ditemukan hubungannya dengan pikiran, ilmu atau sains. Padahal, bagi al-Ghazzali, kehendak Tuhan tidak pernah bertentangan dengan rasio manusia. Kehendak Tuhan dalam realitas alam ini bisa dipahami secara rasional dengan satu kata sunnatullah.

Al-Attas segera sadar ilmu pengetahuan modern ternyata sarat nilai Barat. Andalannya akal semata dengan cara pandang yang dualistis. Realitas hanya dibatasi pada being yang temporal dan human being menjadi sentral.
Ismail al-Faruqi dan Hossein Nasr mengamini. Al-Faruqi menyoal dualisme ilmu dan sistem pendidikan Muslim. Nasr mengkritisi mengapa jejak Tuhan dihapuskan dari hukum alam dan dari realitas alam. Ketiganya seakan menyesali seandainya yang menguasai dunia bukan Barat eksploitasi alam yang merusak itu tidak pernah terjadi. 

Ilmu yang seperti itu harus diislamkan, kata al-Attas. Namun mengislamkan ilmu itu tanpa syahadat dan jabat tangan sang qadi. Diislamkan artinya dibebaskan, diserah dirikan kepada Tuhan. Dibebaskan dari paham sekuler yang ada dalam pikiran Muslim.
Khususnya dalam penafsiran-penafsiran fakta-fakta dan formulasi teori-teori. Pada saat yang sama dimasuki konsep din, manusia (insan), ilmu (ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), konsep amal yang benar (amal sebagai adab) dan sebagainya.Jika Thomas Kuhn tegas bahwa ilmu itu sarat nilai, dan paradigma keilmuan harus dirubah berdasarkan worldview masing-masing saintis. Bagi santri yang cerdas tentu akan berguman laa siyyama (apalagi) Muslim. 

Lalu apakah setelah itu akan lahir mobil Islam, mesin Islam, pesawat terbang Islam dan sebagainya? This is silly question, kata al-Attas suatu ketika. Yang diislamkan adalah ilmu dalam diri al-‘alim, dan bukan al-ma’lum (obyek ilmu), bukan pula teknologi. Yang diislamkan adalah paradigma saintifiknya dan sekaligus worldview-nya.
Jika paradigma dan worldviewnya telah berserah diri pada Tuhan, maka sains dapat memproduk teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid syari’ah dan bukan dengan nafsu manusia. 

Dengan worldview Islam akan lahir ilmu yang sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an, meminjam istilah Ibn Taymiyyah. Dengan paradigma keilmuan Islam akan muncul ilmu yang memadukan ayat-ayat Qur’aniyah, kauniyyah, dan nafsiyyah. Hasilnya adalah ilmun-naafi’ yang menjadi nutrisi iman dan pemicu amal. Itulah misykat (cahaya) yang menyinari kegelapan akal dan kerancuan pemikiran.


KESADARAN HIDUP

Tanda-tanda hidup diantaranya adalah tumbuh dan  berkembang sesuai dengan kodrat pertumbuhan dan perkembangannya, dalam hal hidup dan berkembang yang kita lihat hanyalah hidup dan berkembang itu secara alamiah atau tampak mata namun sesungguhnya yang perlu duperhatikan  selain itu semua adalah aspek mental atau rohani yakni aspek yang kasat mata perkembangan dan pertumbuhan johir seyogyanya diiringi dengan pertumbuhan dan perkembangan bathin.






Perkembangan dan pertumbuhan johir bisa
dilihat dari fakta atau ukuran-ukuran sesuai dengan perkembangannya,  dalam hal ini alat-alat dalam dunia medis memiliki ukuran dan keakuratan dalam menentukan seberapa baik dan kuat seseorang berdasarkan ukuran dan kadarnya, sementara perkembangan dan pertumbuhan bathin hanya dilihat dari rutinitas dan keadaan dalam merespon sebuah gejala sosial,  yang di dasari atas rasa ketundukan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta, lebih lanjut perkembangan dan pertumbuhan bathin merupakan sebuah interaksi yang terjadi antara peribadi individual dengan Tuhan, sementara pantulan kesadaran dengan Tuhan tersebut dapat di lihat dalam kehidupan sehari-hari.
Sudah  manjadi maklum bahwa di masyarakat terdapat  status-status sosial, status sosial  sesungguhnya muncul dan sudah menjadi tradisi serta menjadi bagian dalam starata kehidupan sosial kemasyarakatan tersebut, munculnya individu-individu yang kemudian dianggap tokoh masyarakat atau orang-orang yang memiliki kepedulian kepada masyarakat pada dasarnya adalah pengalaman-pengalaman yang tumbuh dan berkembang disertai adanya kesadaran yang kuat terhadap pengamalan-pengamalan  ajaran agama yang diakui homogen, tumbuh dan berkembang di masyarakat, artinya apa yang dijalankan tidak bertentangan dengan apa yang muncul dan berkembang di masyarakat, seseorang yang menjadi pemangku kepentingan dalam suatu masyarakat benarkah sudah berada dalam kehidupan yang sesungguhnya? atau berada dalam kehidupan yang tulen, atau kah hanya menjalankan sebagai pantualans saja dalam kehidupannya, keaslian hidup sesungguhnya mengandung renungan falsafah semua dilakukan pada dasarnya adalah sebuah keinginan untuk hidup secara wajar
Orang yang hanya mengandalkan akal dalam hidupnya  cenderung terjebak dalam kehidupan yang pragmatis berlomba untuk makan-makanan tertentu, berpakaian tertentu,  mengenakan perhiasan berlomba memiliki kendaraan mewah  hanya dilakukan untuk menaikan gengsi, itu semua  sebenarnya tidak memiliki makna apapun hekekatnya adalah kemubajiran,  lompatan yang perlu dilakukan sesungguhnya adalah bagaimana melakukan sesuatu dilandasi atas kesadaran dan keyakinan beragama yang kokoh sehingga apapun yang dilakukan  benar-benar sebagai pantulan orang yang beriman, lompatan bagi orang yang beragama adalah memiliki pandangan jauh kedepan  dan tidak  berpandangan hanya pada kepentingan sesaat pandangan jauh kedepan itu  adalah pertanggungjawaban  mutlak terhadap hal-hal yang pernah dilakukan selama hidup ini di depan hadapan Sang Pencipta.
Bagi orang beriman kepercayaan terhadap kehidupann setelah kematian atau kepercayaan terhadap sesuatu yang tak tampak yang terjadang sulit dilogikan menjadisuatu keharusan  dalamagam islam  misalnya keyakinan terhadap suatu yang ghaib menjadi bagian dari rukun iman. Bagi kaum nasrani keyakinan terhadap suatu yang gaib juga menjadi bagian yang melekat dalam agama tersebut terdapat istilah okultisme penulis kira demikian juga dalam keyakinan dan agama  lain karena ke ghaiban inti dari kebanyakan keyakinan yang di anut umat beragama. Hal yang ditakutkan oleh umat beragama adalah ketidaktenangan hidup ketika pindah dari fase  dunia ke fase ghaib  dimana fase tersebut adalah fase yang sesungguhnya ketika senang maka akan mendapatkan kesenangan yang sesungguhnya demikian pula ketika mendapat siksa maka akan mendapat kepedihan yang panjang.
Agama menjanjikan diberinya kesenagan bagi orang yang berbuat baik di dunia demikian juga siksa bagi orang yang  berbuat keonaran di dunia  benarkah janji tersebut?  bagi orang yang meyakini janji maka dia akan menjawab benar bagi  orang yang mengingnkari janji hakekatnya ia mengingkari diri sendiri, cerminan dari orang beragama sesunguhnya muncul pada pengalaman dan bagaimana menghadapi suatu masalah bijakkah atau sebaliknya.
Masalahnya muncul kemudian adalah agama sebagai sebuah keyakinan yang mendalam sering di abaikan bukankah oaring-orany yang menjabat jabatan tertentu kemudian di penjara –oleh KPK misalnya- kebanyakan dari orang tersebut adalah oranng yang mampu dan pernah menjalankan Ibadah haji sebagai bukti kemampuannya secara johir.  Kenyataan ini menandakan bahwa kesadaran beragama masih bersifat formal dan belum mengarah pada substansial. Masih mengandalkan symbol dibanding dengan pengamalan yang sesungguhnya. Walaupun masalahnya tidak sesederhana sebagimana yang diungkapkan karena masih sangat banyak komponen-komponen lain yang belum terungkap.
Kesadaran hidup yang baik tentunya mampu menafsirkan keyakinan dalam ibadah sehari-hari  tanpa pengecualian Sang Nabi diutus salah satu tujuannya adalah menyempurnakan akhlak, formalitas bukan tidak penting terkadang suka menipu, sudah selayaknya dalam menjalankan kehidupan nyata bagi orang yang meyakini agama sebagai keyakinan yang terbantyahkan hendaklah melakukan lompatan-lompatan hidup yang lebih bermakna dibanding dengan orang yang tidak berpandangan demikian mari pantulkan kesadaran hidup melalui kesadaran hidup yang sesungguhnya  bukan kesadaran yang menipu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar