PENDIDIKAN NILAI DALAM ISLAM
oleh : Edy
A. Pendahuluan
Pendidikan
menurut Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan wahyu
pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan kepadanya untuk
membaca dalam keadaan beliau yang ummi di samping itu, wahyu ini juga mengandung
suruhan belajar mengenal Allah SWT memahami fenomena alam serta mengenali diri
yang merangkum prinsip-prinsip aqidah, ilmu dan amal. Ketiga
prinsip ini sangat penting dan menjadi objek kajian dalam falsafah pendidikan Islam.
Orientasi
pendidikan nilai dalam islam sangat jauh dan melampau pandangan dunia, apapun
namanya sulit untuk menggunakan ukuran-ukuran yang kongkrit karena nilai yang
sesungguhnya adalah tertanam dalam diri setiap mukmin dan bertujuan menjadi
mukmin muttaqin, ukuran ukuran muttaqin
melampaui tujuan pendidikan yang berorientasi sesaat, oleh karena itu pendidikan nilai dalam islam hendaklah
diformat baru sehingga peserta didik tertanam nilai-nilai positif secara
subsatnsi kesadaran dan bukan formalitas belaka.
Agar
nilai-nilai islam tertanam secara baik dalam diri peserta didik maka yang perlu
dilakukan adalah menanamkan keyakinan atau motifasi yang mantap tentag
ketuhanan (aqidah/tauhid) secara baik kepada peserta didik sehingga
pertenggungjawaban manusia sesungguhnya adalah kepada Tuhan bukan kepada
manusia
Pendidikan
nilai yang selama ini dilaksanakan adalah nilai-nilai yang tidak membumi sehingga nialai yang tertera pada laporan
pendidikan menjadi kabur manakala dihadapkan pada permasalahan yang nyata hal
ini terjadi karena pendidikan nilai lewat mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) atau sekarang
PKn (pendidikan kewarganegaraan) hanya bersifat hapalan dari sila-sila
pencasila.
Dalam
makalah ini penulis mencoba
ersama-sama berdiskusi tentang pendidikan nilai
dalam islam untuk kemudian merumuskan bagaimana pendidikan nilai itu dapat
“membumi” dan diterima oleh peserta didik dalam rangka tanggung jawab untuk
menciptakan masyarakat yang beradab.B. Pengertian Nilai
Kata Value kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Menjadi nilai kata Value sendiri terambila dari kata Valere atau da dalam bahasa perancis kunoValoer namun ketika kata tersebut sudah masuk kedalam obyek tertentu dari sudut pandang tertentu tafsiran harga yang terkandung didalamnya memberikan tafsiran yang bermacam-macam[1]
Dalam sebuah laporan
yang ditulis oleh A Club of Rome (UNESCO, 1993) nilai diuraikan dalam dua
gagasan yang saling bertentangan disatu sisi nilai dimaknai sebagai nilai
ekonomi yang bersandar kepada nilai
produk, kesejahteraan, dan harga penghargaan yang begitu tinggi kepada
harta atau hal yang bersifat materi dan yang kedua nilai yang abstrak yang sulit
diukur dengan ukuran kongkrit seperti keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian
dan sebagainya.[2]
Pemahaman terhadap
pemaknaan nilai yang berbeda dilandasi atas perbedaan cara pandang, karenanya
pemaknaan nilai paling tidak memiliki
penekanan pandangan sebagai berikut:
1.
Gordon
Allport sebagai seorang ahli psikologi kepribadian menurutnya nilai terjadi dalam wilayah
keyakinan yang merupakan tempat yang
tinggi dibanding dengan wilayah lainnya
seperti hasrat, motip sikapo dan keinginan karenanya nilai merupakan
keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.[3]
2.
Nilai merupakan
patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihannya diantara tindakan alternatif,[4]
definisi nilai ini dikemukakan oleh Kupperman yang merupakan ahli
soisologi yang menjadi penekanan adalah
normatif atau lebih dikenal dengan norma
dimana norma harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.
3.
Value is
address of a yes.[5]
Dikemukakan oleh Hans Jonas Kata adrdress
disini bermakna tindakan yang dilakukan individu maupun sosial sedangkan
kata yes merupakan nilai individu seseorang dalam melakukan suatu
pilihan.
4.
Nilai
merupakan konsepsi (tersurat atau
tersirat yang sifatnya membedakan
individu dengan ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi
pilihan terhadap cara tujuan antara dan tujuan akhir tindakan depinsi ini dikemukakan oleh Kluckohn.[6]
Mungkin setiap kita
memiliki depinisi tersendiri tentang nilai namun nilai pada dasarnya tidak
lebih dari sebuah ukuran untuk melakukan tindakan yang dilakukan menurut
ukuran-ukuran tertentu.
Batang
Tubuh Nilai
Dalam bidang filsafat nilai paling tidak
dikaji dari tiga bahasan yakni:
1. Ontologi yang membahas tentang hakekat nilai yang dimaknai sebagai
rujukan dan keyakinan untuk menentukan pilihan. dan Struktur nilai yanng terdiri dari logis, etis, estetis kenikmatan,
kehidupan,kejiwaan, kerohanian,politk sosial, agama dsb
2. Epistemologi
yang meliputi objek nilai
yakni agama, logika,filsafat, ilmu pengetahuan, sikap ilmuah,norma, kebiasaan,
karyaseni, dan lainnya, cara memperoleh
nilai yakni berpikir rasional, logis, empiris, memfungsikan hati melalui meditasi, thariqat
atau intuisi yang shohih, Ukuran
kebenaran nilai yakni Lgik, Theistis, Mistik, Humanis
3. Aksiologi kegunaan pengetahuan nilai misalnya
nilai dalam wilayah filsafat, Ilmu pengetahuan, nilai pada wilayah mistik dan
cara nilai menyelesaikan masalah nilai filsafat pada wilayah baik buruk Ilmu
Pengetahuan misalnya keteladanan pembiasaan dengan mistik seperti wirid,
puasa,sholawat dll.
Nilai dan Norma
Dari depinisi diatas dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya nilai merupakan
sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama ketika kebaikan tersebut menjadi aturan dan
menjadi kaidah yang digunakan sebagai ukuran untuk menilai sesuatu maka itulah yang disebut dengan norma
Membungkukkan badan dan
mengatakan punteun meruapakan
adat dalam masayarakat sunda manakala melewat atau berlalu dihadapan orang yang
lebih dewasa atau orang tua dan merupakan nilai, sementara tatacara lewat yang disepakati bersama
merupakan norma
Nilai dan moral
Nilai paling tidak mengandung tiga kaida
yaitu::
1. Intelektual (benar dan salah)
2. Estetika (Indah, kurang indah, tidak indah)
3. Etika (baik dan buruk)
Kejujuran adalah nilai yang baik, ketika kejujuran sudah dimanifestasikan
sebagai tindakan dalam adat kebiasaan seseorang disebut dengan moral.[7]
Perbedaan
cara pandang terhadap nilai mengakiubatkan pemaknaan terhadap sesuatu menjadi
berbeda fenomena “ngebor” Inul Daratista misalnya dimaknai beragam disatusisi
dikaitkan dengan moralitas disatusisi dikaitkan dengan seni itu sendiri.
Perbedaan
cara pandang ini dapat kita saksikan dalam peradaban Barat dan Islam mislanya
ketika seni itu berlandaskan ajaran agama maka tidak ada patung atau gambaran
manusia dalam bentuk telanjang utuh, tetapi ketika masuk ke dalam peradaban
Barat yang berlandaskan Hedonisme atau paham kesenangan maka seni dimaknai
sebagai “seni untuk seni” art for art kanyataan gambar telanjang utuh menjadi tidak
bermasalah.
Hal
inilah yang oleh Smuel P. Huntington
bahwa masa depan dunia akan
dilanda pertarungan nilai[8]
dan Barat akan dipaksakan untuk tunduk dan hidup berdampingan dengan
sistem-sistem budaya lain di dunia
C. Islam dan Pendidikan Nilai
Ajaran Islam adalah
ajaran- ajaran yang penuh dengan muatan-muatan nilai, sifat-sifat seperti sabar, siddiq (benar dalam
segala aspek) amanah, qonaah, optimis, menganjurkan umatnya untuk kaya
tetapi tidak kikir, sabar tetapi tidak tertindas, berjihad dalam arti
yang sesungguhnya dengan ilmu harta dan amal
nilai-nilai sebagaimana tersebut sehrusnya ditanggapi secara serius oleh
umatnya untuk dilaksanakan dan selalu menjadi umat yang terdepan didalam
berbagai aspek kehidupan.
Peranan guru dalam
menanamkan sifat-sifat ini dilembaga pendidikan atau dalam mata pelajaran Agama
Islam sangat besar,[9]
kenyataan masyarakat Indonesia saat ini
sangat mudah tersinggung bertinadak anarchi bahkan tidak mudah percaya
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. walaupun memberikan nialai positif
tetapi dampak kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan “hampa nilai” yang
dilakukan seolah-olah bangsa kita bangsa yang tidak bermoral.[10]
Quran sebagai wahyu
tidak dapatlagi dibantah kebenarannya dalam memberikan inspirasi kepada umatnya
untuk melakukan tindakan tindakan terpuji tetapi apakah tindakan-tindakan
tersebut memiliki teori dan landasan berbasis pada Quran atau hanya
berorientasi sesat. Sejauh mana teori,konsep, pelaksanan, kegian, dan
operasinal yang kita lakukan[11] .
atau lebih jelasnya lihat diagram berikut.
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
Sebenarnya yang lebih
berhak maju adalah umat Islam dibanding degan Barat karena orientasi pandangan
hidupnya melampau dunia yakni akhirat
yang ukuran-ukurannya tak tampak, hanya pribadi dengan Tuhan lah yang
tahu tetapi karena “Miskin” amal sholeh teori dan operasioanal sehingga menjadi
“korban” dari peradaban dan globalisasi
Ilustrasi
Umat Islam 1.dunia 2.Akhirat
Barat 1.dunia
Bagi umat Islam al-Quran
merupakan pedoman tertinggi dan sudah tidak dapat diragukan lagi kebenarannya.
al-Quran yang merupakan kitab suci penuh nilai positif harus diterjemahkan
kedalam kehidupan sehari-hari sehingga
isyarat-isyarat al-Quar yang berkaitan dengan amal sholeh dan taqwa
dilaksanakan dalam kegiatan seharti-hari.
Dari
diagram diatas kita dapat pahami bahwa sehebat apapun gagasan Quran tentang
kehidupan pada hakekatnya dikembalikan kepada kecerdasan berpikir umat islam
itu sendiri dalam menterjemahkan Quran. Sebagai contoh tentang kebersihan
al-Quran mengisyaratkan bahwa:
1. Wahyu
“Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mensucikan diri” (Q.S al-Baqarah/2:222)
2. Teori
Teori biasanya diperkuat oleh hadits dan
perkataan shahabat dan ulama misalnya
“kebersihan sebagian dari iman”
“akal yang sehat terdapat dalam jiwa yang
sehat”
3. Konsep
menghubungan kebersihan dengan faktor kesehatan sepeti
munculnya penyakit demam berdarah, alergi, AIDS yang merupakan diakibatkan dari
hidup dan kehidupan yang tidak bersih.
4.Pelaksanaan
Dilaksanakan dalam kehidupan real
masyarakat misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya dan didukung dengan
peran serta pemerintah yang mengawasi bidang ini yang diikuti dengan peraturan
dan sangsi yang tegas
6.Kegiatan
Merupakan terjemahan dari pelaksanaan yang
diwujudkan dalam pelaksanaan nyata dan
menyentuh langsung kedalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat
7. Operasional
Suatu
pelaksanaan dimana nilai-nilai kebersihan terinternalisasi dalam setiap
individu masyarat.
al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam disamping sebagai pedoman hidup juga memiliki
keterkaitan-keterkaitan terhadap perkembangan pengetahuan dan tekhnologi
isyarat ilmu pengetahuan telah muncul dalam al-Quran tetapi karena kekurangan
Riset dan minimnya tekhnologi sehingga pengetahuan-pengetahuan lnialai dan
tekhnologi terkini ebih sering muncul dikalangan orang non Islam walaupun
peletakan dasar pengetahuan telah dilakukan oleh ulama-ulama Islam terdahulu
hal ini tidak lain karena minimnya pengetahuan dan kurangnya landasan
operasional pelaksanaan.
Dalam prakteknya hal ini
begitu sulit dilakukan mengingat tradisi, kultur dan budaya masyarakat
Indonesia yang paternalistik. Agar
supaya nilai tersebut “membumi”[12]
dalam masyarakat yang diperlukan selanjutnya adalah tauladan dalam berbagai
aspek kehidupan dan dimulai dari “elit” masyarakat sebagaimana keberhasilan
Rasulullah Saw dalam berdakwah yang diantaranya karena beliau mencontohkan
sebelum melakukan dan mengatakan apa yang sudah dilakukan.
Untuk mewujudkan nilai
islam peran pendidikan menempati bagian
terpenting dalma rangka menyampaikan pesan-pesan nilai sosial islam kepada umat
dan masyarakat karenannya peran da’wah
dan pendidikan harus ditingkatkan dan diatur dengan manajemen yang bagus yang
tidak berorientasi pada materi tetapi pada nilai Islam itu sendiri.
Pendidikan atau da’wah bi
al-lisaan dalam proses pemidahan pengetahuan nilai keislaman baik dalam
bidang pendidikan kepada siswa dan masyarakat masih tetap diperlukan karena menumbuh kembangkan
nilai-nilai islam itu dimulai dari pemahaman terhadap islam itu sendri, namun
yang lebih penting adalah da’wah bi- al hall karena lebih utama dan langsung menyentuh
kepada masalah yang dihadapi umat permasalahan yang ada kemudian sulit bagi
umat saat ini untuk mencari pigur atau
tauladan yang baik (almasalul al-A’la/ idola) yang dapat menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Aspek perjuangan nilai Islam sesungguhnya diawali pada
perjuangan dengan menumbuh suburkan
aspek-aspek akidah dan etika dalam setiap diri pemeluknya.[13] Untuk mewujudkan nilai sosial yang mantap
harus dilakukan beberapa tahapan yang meliputi
1. Keluaraga
Yakni suatu keluarga
yang berkualitas. Setiap jiwa bertanggung
jawabuntuk menyucikan jiwa dan harta
dengan memperhatikan pendidikan yang cukup kepada pendidikan anank-anak
dan istri dan menciptakan hubungan yang
serasi antara semua anggota masyarakat
2. kewajiban anggota masyarakat yang melahirkan
hak-hak tertentu yang sifatnya keserasian dan keseimbangan antara pribadi dan
masyarakat.
3. Pribadi dimana setiap orang dituntut untuk dapat bertanggungjawab baik kepada pribadi masyarakat dan Tuhan
untuk dapat bekerja sesuai dengan kemampuannya
Dari
segi kepentingan pendidikan nilai dilakukan dalam bentuk pendidikan keagamaan
dan pendidikan kebangsaan dilaksanakan disekolah-sekolah formal di Indonesia
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang berupa
“titipan agama” berbentuk pendidikan agama dan budi pekerti “titipan kebangsan” atau nasionalis berupa
pendidikan kewarganegaraan atau yang dikenal dengan civic educations.
Pendidikan
moral yang dilkaksanaan pada masa orde baru dengan melakukan
penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) terbukti
tidak ampuh dalam menghadapi tantangan globalisasi
P4 yang disampaikan lebih bersipat
“doktrin” dari pada sebagai pesan moral dan diikuti hanya sebagai “syarat
kesetiaan” terhadap orde baru pada saat itu
yang dilakuykan hampir disemua lini pemerintahan dan swasta baik kepad
siswa karyawan apalagi kepada pejabat
pemerintahan terbukti “gagal” hal ini karena penanaman moral itu “hampa nilai”
dan tidak membumi atau terinternalisasi dalam masyarakat.
Seharusnya
dengan dilakukannya Penataran-penataran P4 bangsa Indonesia terbebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tetapi apa yang terjadi kemudian adalah
sebalikanya dan sampai saat ini diantara “musuh” terberat yang dihadapi bangsa
ini adalah KKN.
Beberapa tahun lalu,
dunia pendidikan kita diramaikan oleh diskusi soal format baru pendidikan moral
di sekolah. Zaman Orde Baru, pendidikan moral itu selalu dikaitkan dengan
nilai-nilai dasar Pancasila sebagai filosofi atau pandangan-dunia bangsa
Indonesia yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang sebelumnya disebut Pendidikan Moral Pancasila.
Diskusi itu berusaha
memberi ruang lebih terbuka bagi pemaknaan moral bagi peserta didik. Gagasan
yang melandasi usaha ini adalah, pendidikan moral di sekolah yang berlangsung
sebelumnya terlalu negara-sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis
dan pro-status quo. Reformasi di bidang pendidikan moral di sekolah juga
dipandang mendesak karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam
krisis multidimensi diakibatkan kegagalan pendidikan moral di sekolah.
Formulasi substansi dan
materi pengajaran pendidikan moral yang lama, terlalu berpola deduktif, khas
kebijakan politik Orde Baru yang ingin mengontrol semua bidang kehidupan.
Pemaknaan nasionalisme, misalnya, jarang sekali dikaitkan dari sudut pandang
kelompok- kelompok masyarakat yang begitu beragam. Nasionalisme disajikan dalam
bentuknya yang negara-sentris. Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa
dilihat dari perspektif lebih luas. Sementara itu, nilai-nilai seperti
kejujuran, ketulusan, kebajikan, dan semacamnya, banyak tampil sekadar semacam
petuah tanpa ekses
Pendidikan Nilai Agama Islam disekolah
Pendidikan agama Islam
yang dilalkukan disekolah formal di Indonesia SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
dilakukan dalam dua sisi
1.
sebagai mata pelajaran Disekolah sekolah dibawah
naungan diknas namun dibeberapa sekolah dibawah naungan Diknas mengembangan
sendiri muatan pendidikan islam dengan istilah “muatan khususu” atau dirosah
islamiyyah[14]
karena KBK dan KTSP memungkinkan tentang hal tersebut dan pemerintah hanya
memberikan batasan minimal untuk mata pelajaran
2.
sebagai rumpun mata pelajaran sebagaimana yang
dilakukan di lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Agama
dengan mata pelajaran dengan sebutan Aqidah akhlak,Fiqih, Sejarah Islam, Bahasa
Arab dan al-Quran Hadits
Pendidikan Agama Islam memiliki peran yang penting dalam menanamkan
kepribadian dan akhlak mulia siswa karena mata pelajaran ini mengandung muatan
nilai, moral, etika beragama karenanya seorang guru PAI memiliki peran terdepan
dalam menanamkan kesadaran nilai-nilai keagamaan tersebut
Beberapa karakteristik
PAI dalam buku pedoman khusus PAI sebagai berikut:
1.
PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari
ajaran-ajaran pokok agama Islam
2. PAI
bertujuan untuk membentuk peserta didik agar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan memiliki
akhlak mulia
3. PAI
mencakup tiga kerangka dasar, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak.
Materi esensia PAI dapat dilihat dalam table berikut:[15]
Nilai dalam cakupan luas
|
Tujuan kurikulum
|
Keimanan dan Ketaqwaan
Kepada Allah SWT
(Aqidah)
|
Untuk memperkokoh aqidah
beragama dan mencerahkan fitrah
beragama peserta didik
|
Kebenaran dan keyakinan
yang kuat terhadap hukum hukum
(Syariat)
|
Untuk memperluas pengetahuan
dan kesadaran peserta didik terhadap hukum-hukum agama yang harus ditaati
atau dihindarkan
|
Etika dan Moral beragama
(Akhlak)
|
Untuk melatih peserta
didik berprilaku terpuji baik dalam
hubungannya dengan sesame manusia, alam dan Tuhan
|
Pendidikan
di dalam Islam tidak dapat terlepas dari nilai keTuhanan yang bertujuan
terwujudnya insan yang muttaqiin
peranan PAI dalam hal ini begitu
penting falsafah Iqro misalnya
dapat dijadikan landasan untuk mengenal manusia secara utuh yang diciptakan
tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT.
Pendekatan
pendidikan keagamaan dalam penanaman nilai terhadap siswa berupa aqidah syariah dan akhlak pada gilirannya akan
membutuhakan pendidikan kontekstual dan multi disiplin ilmu tidak hanya
memberikan gambaran abstrak terhadap pelajaran yang akhirnya menjadi hampa
nilai. Hal inilah yag seharusnya dilakukan oleh para pendidik agama Islam.
Pendidikan
Agama Islam yang merupakan salah satu bagian dari mata pelajaran dalam
pendidikan di sekolah-sekolah formal harus juga dipadukan dengan materi-materi
pelajaran lain sehingga menjadi satu bagian yang utuh dan tidak terpisah
walaupun bukan menjadi objek kajian yang diprioritaskan tetapi “benang merah”
harus ada sehingga pembinaan moral nilai dan akhlak bukan hanya menjadi
tanggung jawab guru agama tetapi menjadi tanggung jawab semua orang yang
terlibat didalam pendidikan itu sendiri dan ada kesatuan yang utuh antara nilai agama, akhlak mulia, tidak dipisahkan
karena dunia pada dasarnya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
Wallohu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana,
Rohmat Mulyana, Mengartikulasi pendidikan nilai , Bandung : 2004
Madjid,Nurcholis,
Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
Syihab M.Quarih Membumikan
al-Quarn,Mizan:1998
Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan SDIT al-Mawaddah Cibinong Bogor Jawa Barat , 2006 ,untuk
kalangan sendiri tidak diterbitkan.
[1] Nilai manusia menurut sudut
pandang Barat dan Islam memiliki perbedaan, Pengertian manusiapun menjadi
berbeda kalau kita dasarkan pada disiplin ilmu tertentu., Lih. Dr. Rohmat
Mulyana, Mengartikulasi pendidikan nilai , Bandung : 2004 h.7
[2] ibid., h.9
[3] ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, dikemukan oleh Hans Jonas dikutip dari Rohmat mulyana, ibid
[6] ibid h.10
[7] Rahmat Mulyana, op.cit. h.18
[8]Nurcholis Madjid, Islam
Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000 h, 262 Smuel P. Huntington terkenal dengan teori “The Clash of
Civilization?” bahwa masa depan akan diramalkan akan adanya pertentangan
antara peradaban yakni Islam, Barat yang Kristen dan Konmfusionisme
[9]Disebutkan dalam mata pelajaran
Agama Islam karena lebih memuat nilai-nilai keagamaan namun seharusnya
nilai-nilai ini melekat atau terinternalisasi dalam setiap pelajaran atau
pelajaran apapun yang dipadukan dengan pendidikan nilai
[10] Setiap hari media Televisi selalu menayangkan kriminalita , tindakan korupsi, pembantaian,
“mutilasi”, pemerkosaan, masalah TKI dll
yang bebas dilihat oleh siapa saja
pendidikan moral yang diberikan disekolah seolah hilang dan lebih bermakna pada tayangan TV
[11]Sebagaimana yang dilakukan oleh
Prof Dr H. Abudinnata dalam perkuiahan Manajemen Pendidikan Islam dalam
merumuskan “/Membumikan nilai-nilai Islam “.
[12] Istilah “membumi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Prof Quraish Syihab dimana penulis memaknai dapat diterima dan terbiasa atau menjadi
kebiasaan dan tradisi tanpa paksa yang dilakukan oleh masyarakat
[13]M.Quarih Syihab, Membumikan
al-Quarn,Mizan:1998, h. 241
[14] Dapat dilihat pada kurikulum
Sekolah Dasar Islam terpadu Sebga contoh Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu
al-Mawaddah yang lebih dikenal dengan Kurikulum tingkat satua pendidikan
menggunakan istilah Dirosah Islamiyyah Lih. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SDIT
al-Mawaddah Cibinong Bogor Jawa Barat , 2006 ,untuk kalangan sendiri tidak diterbitkan.
[15] Rohmat Mulyana, op.cit., h.
205 dengan penambahan seperlunya
SILABUS FILSAFAT ISLAM
1.PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT ISLAM
2.OBJEK FORMAL DAN OBJEK MATERIAL FILSAFAT
3.SUMBER FILSAFAT ISLAM
4.ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI FILSAFAT ISLAM
5.PEMBAGIAN WILAYAH KAJIAN FILSAFAT ISLAM
6.SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT ISLAM
7.HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN
8.HUBUNGAN FILSAFAT ISLAM DENGAN ILMU KALAM DAN TASAWUF
9.METODOLOGI FILSAFAT ISLAM
10.PERBANDINGAN PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM DAN BARAT
11.DIALOG FILSUF MUSLIM DAN FILSUF BARAT
12.KEKELIRUAN-KEKELIRUAN DALAM BERPIKIR
13.ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ISLAM
14.TOKOH-TOKOH FILSUF MUSLIM DAN PEMIKIRANNYA
15.BEBERAPA MASALAH FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER
KONTRAK
PERKULIAHAN
1.KEHADIRAN 40% DARI KEHADIRAN DOSEN
2.TUGAS 10% X NILAI TUGAS
3.UTS 20% X NILAI
UTS
4.UAS 30% X NILAI
UAS
MAHASISWA WAJIB MEMILIKI BUKU
RUH DAN JIWA
PENGERTIAN JIWA DAN ROH
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs
, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit.
Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya.
Jadi, apa jiwa itu?
Plato (477-347 sM) berpendapat bahwa jiwa itu adalah sesuatu yang immaterial, abstrak dan sudah ada lebih dahulu di alam praserisoris. Kemudian is bersarang di tubuh manusia dan mengambil lokasi di kepala (logition, pikiran), di dada (thumeticon, kehendak) dan di perut (abdomen, perasaan). Pendapat ini kemudian dikenal dengan istilah Trichotomi. Menurut Plato, ketiga unsur inilah yang mendasari seluruh aktivitas manusia. Dengan kata lain, seluruh kegiatan hidup kejiwaan manusia mempunyai dasar yang kuat pada ketiga unsur tersebut. Sejajar dengan trichotominya, Plato mengatakan bahwa manusia akan memiliki sifat Bijaksana (jika pikiran menguasai dirinya) dan Ksatria atau Berani (jika kehendak menguasai dirinya) serta Kesederhanaan (jika perasaannya tunduk pada akalnya). Maka apabila ketiga sifat itu menguasai manusia,berarti ia telah memiliki kesadaran sebagai manusia. Sadar artinya mengerti secara aktif. Dengan kesadaran inilah, manusia selalu cenderung untuk menentukan sendiri bentuk-bentuk aktivitas hidupnya dan tingkah-laku yang diwujudkannya, maupun finalita dalam kehidupannya.
Aristoteles (384-322 sM) berpendapat lain dari gurunya. Menurut dia jiwa itu adalah daya hidup bagi makhluk hidup. Jadi, di mana ada hidup di situlah ada jiwa. Daya kehendak dan mengenal merupakan dua fungsi jiwa manusia. Kemudian pendapatnya ini dikenal dengan istilah dichotomi. Selanjutnya dia menjelaskan, bahwa jiwa sebagai sesuatu yang abstrak (dunia idea) halus menempati atau berada dalam tubuh (dunia materi) menjadi daya hidup yang nyata, (realita). Karena realisasi dari jiwa ini memang merupakan tujuan untuk membentuk sesuatu (tingkah laku) menurut hakikatnya yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk mencapai suatu tujuan, maka ia menjadi. Menjadi di sini berarti kemungkinan untuk berwujud. Artinya, semua potensi yang ada akan menampak nyata (aktual). Jiwa itulah potensi yang ada dalam tubuh sehingga mengaktualisasi dalam bentuk tingkah-laku. Sebelum tingkah laku itu terwujud, ia masih merupakan kemungkinan (potensial) dan setelah terbentuk atau terjadi maka ia disebut Hule. Setiap kejadian (hule) pasti ada yang menjadikan (Murphe) dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur Hule-Morpheisme.
Rene Descartes (1596-1656 M) berpendapat bahwa jiwa merupakan Zat Rohaniah, dan tubuh adalah Zat Jasmaniah. Dari zat rohaniah inilah munculnya tingkah laku manusia yang disebut tingkah laku rasional. Sedangkan dari zat jasmaniah itu muncul tingkah laku mekanis. Antara dua zat kejiwaan dan zat ketubuhan itu berada dalam perbedaan yang terpisah, tetapi keduanya dihubungkan dengan adanya kelenjar Pinealis, sehingga rangsang-rangsang ketubuhan dapat diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan sebaliknya. Selanjutnya dia menyatakan bahwa jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau akal pikirannya, sedangkan tubuhnya tunduk kepada hukum-hukum alamiah dan terikat kepada nafsu-nafsunya. Paham ini dikenal dengan Dualisme.
Selain Descartes ada sarjana yang berpendapat bahwu untura ketubuhan dan kejiwaan (jiwa dan raga) itu tidak dapat bedakan karena keduanya merupakan kesatuan secara interaksi, dan tidak saling terpisah, tetapi merupakan satu hubungan kausalitas.
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teoriMonisme.
Kemudian, apa perbedaan jiwa dengan roh?
Diambil rata, membicarakan masalah roh itu memang kurung menarik perhatian, kecuali beberapa orang tertentu yang memperhatikan dirinya serta ingin memahami fungsi roh pada tubuhnya. Yang mempersoalkan roh pertama kali adalah kaum Yahudi, yang dijawab oleh wahyu:"Katakanlah Muhammad, bahwa roh itu menjadi urusan Tuhanku saja." (QS Al Isra': 85).
Mengapa demikian?
Memang, sampai sekarang masalah roh merupakan ruang kosong dalam analisis dunia sains. Hakikat wujudnya tidak terjaring oleh kemampuan penalaran rasional manusia, apalagi hanya dengan pengamatan mata telanjang. Berpijak pada ayat di atas, para mufassir mencoba memberikan sedikit pengertian tentang roh ini, antara lain:
Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya.
Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan.
Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang
hanya akan mengira-ngirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh). Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Berbicara tentang manusia dari kejadiannya, tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum penciptaan keseluruhannya. Setiap insan yang beriman sependapat bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan, artinya bukan ada dengan sendirinya. Akan tetapi belum semua manusia sependapat bahwa penciptaan atas manusia itu meliputi jasmani-rohani, lahir-batin, jiwa-raganya, atau keseluruhannya secara utuh. Berbeda dengan logika semu yang ditarik-tarik oleh pola pemikiran insani dalam menetapkan adanya Allah sebagai Maha Pencipta, maka Al Quran ,memakai dalil-dalil aksioma (patokan-patokan yang berdasar kenyataan) dengan tekanan-tekanan yang jelas, sederhana dan mudah dicerna oleh segala tingkat pemikiran mulai dari pemikiran kampungan sampai ke pemikiran filosofis. Orang yang berpikir sederhana pun dapat mengetahui dalil-dalil tersebut dalam garis-garis yang pokok karena kesederhanaan, kejelasan dan keaksiomaan yang terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri. Adapun bagi orangorang alim dan cerdik pandai, maka dalil-dalil tersebut dapat diperdalam secara terinci, yang secara keseluruhan dapat membentuk suatu rumusan pikiran yang tersusun, sehingga pengingkaran terhadapnya sama saja dengan mengingkari terhadap 2 x 2 = 4. Tentang kejadian manusia jasmani dan rohani kita dihadapkan kepada kenyataan adanya aktualita Bina Cipta Ilahi yang bersumber pada dalil aksiomatis ini:
a. Dalil Penciptaan (ikhtira')
Tuhan adalah Pencipta Tunggal atas adanya segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak (lahir-batin). Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Mu'min: 62
b. Dalil Pembinaan (al 'inayah)
Tuhan bukan hanya pencipta kemudian setelah jadi lalu dibiarkan begitu saja berjalan tanpa hukum dan aturan-aturan tertentu. Balk makhluk hidup ataupun benda mati, diikat oleh hukum dan aturan tertentu yang dicipta sebagai proses. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al A'la: 2-3.
c. Dalil Keteraturan (an nidham )
Semua ciptaan Tuhan berada dalam proses (tidak statis), serta berada dalam kadar sebab akibat tertentu. Segala benda itu punya tabiat sendiri-sendiri, berproses secara tetap dan berulang. Kalau keteraturan ini tidak ada, manusia tidak mungkin punya jiwa, dan sebagainya. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Furgan: 2.
Adapun penjabaran dan pengembangan proses tentang adanya hukum dan aturan itu, diserahkan kepada kemampuan akal intelek manusia untuk menerjuni selidik sedalam-dalamnya, karena Alkuran memang bukan buku pelajaran yang memuat deretan dalil-dalil fisika, kimia atau biologi, dan bukan pula buku ensiklopedi, juga bukan tujuan Alkuran untuk menuntun manusia kepada ilmu-ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Ayat-ayat yang disusun di dalamnya lebih bersifat memberi isyarat akan adanya rangkaian ilmiah yang terdapat di dalam penciptaan alam semesta dan seisinya dan pada diri manusia sendiri, yang sebagian telah berhasil diungkap oleh kemampuan dan potensi psikis manusia, walaupun masih lebih banyak yang belum tergali.
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alkuran (Quran) itu adalah benar." (Fushshilat: 53)
Menanggapi ayat seperti ini, orang yang berpikiran seder-liana pun mudah menangkap bahwa apa yang terdapat pada penciptaan alam semesta dan diri manusia itu sendiri merupakan tanda-tanda adanya Kehendak- Kekuasaan- Kebijaksanaan-ilmuKetelitian- Keseimbangan-Kerapian- Kesengajaan- yang semuanya itu menguatkan adanya Penciptaan yang Dahsyat. Untuk mengarahkan dan memelihara pemahaman semacam inilah kepada manusia diberikan kesadaran yang berpusat pada adanya Jiwa (akal pikiran, kehendak-perasaan) yang dengannya pula manusia dilimpahi kepercayaan serta dibebani kewajiban sehingga hubungan manusia dengan Tuhannya menimbulkan tingkah laku bermotivasi, yang dilatarbelakangi nilai-nilai ibadah.
Tentang mengapa Allah memilih manusia sebagai pelaksana dari amanat-Nya itu adalah karena manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. (Baca: Surat Al Isra': 70). Dan kelebihan itu tampak pada adanya normanorma nafsaniyah (psikologis) dengan segala potensi yang mendukungnya, sehingga manusia yang sadar sepenuh jiwanya, akan mengarahkan seluruh kegiatan hidup kejiwaannya itu menuju taqwa.
"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafsin wahidah dan menciptakan dari padanya jodohnya, dan mengembangbiakkan dari kedua lakilaki dan wanita yang banyak." (An Nisa': 1)
H. Hassan dan Al Jawahir at Thanthawy, menafsirkan Nafsin Wahidah sama dengan Nabi Adam. Jodohnya ialah Hawa, diciptakan dari Adam (padanya). Demikian pula tafsir Alkuran Departemen Agama Republik Indonesia yang diperkuat dengap hadits riwayat Bukhari Muslim. Akan tetapi dinyatakan pula penafsiran lain yang berpendapat bahwa nafsin-wahidah adalah unsur yang serupa, yakni tanah, yang daripadanya Adam diciptakan.
Maulawi Muhammad Ali (Ahmadiyah Lahore) dalam Quran Suci terjemahan Jawa mengulas, pertama, menurut Abu Ishaq bahwa di kalangan orang Arab perkataan nafs dipakai dua macam arti, yaitu seperti Roh atau Jiwa. Kedua, berarti: Kesatuan sesuatu, berserta sarinya, yang dari padanya juga terjadinya jodoh. Jadi, nafs di sini berarti jenis yang berarti sari (sari yang sejenis: an Nahl, 72).
H. Zainuddin Hamidy cs dalam tafsir Qurannya berpendapat, bahwa nafs berarti jenis atau bangsa manusia.
Syekh M. Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan bahwa nafs wahidah itu bukan Adam, buktinya ada ayat wa batstsa min humaa rijalan katsiran wa nisaa an. Kata Sayid Rasyid Ridla, kalau ditafsirkan dengan Adam, tidak ada alasan dari nash ayat melainkan hanya menerima dari masalah bahwa Adam adalah ayah sekalian manusia.
Prof. Hasby .Ash Shiddiqi dalam tafsir An Nur hanya mengatakan diri yang satu yaitu insan yang dari padanya asal keturunan yang lain.
Al Fatkhur Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kejadian Adam dan Hawa tidak didapat suatu dalil yang qath'i (pas), bagaimananya dan apanya, sebab Alkuran hanya menerangkan secara global saja. Tentang penafsiran selanjutnya tidak sampai kepada asal kejadian itu.
Terlepas dari bermacam-macamnya penafsiran, kami memilih
kepada apa yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, yakni mod kejadian yang sejenis. yang daripadanya manusia pertama beserta jodohnya diciptakan, kemudian dari keduanya ini keturunan-keturunan yang sejenis pula (jenis insan).
Dengan demikian maka isyarat yang dapat ditangkap dari padanya dapat mengantarkan kepada pengenalan dan pengertian
kita dalam bentuk struktural dan fungsional. Sesuatu yang bisa dijelaskan dari isyarat itu dan yang telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa di dalam kerahasiaan nafsin-wahidah ini, dia bersifat Hereditair, Terus-menerus berketurunan pada kesam aan jenisnya, dalam hal Ini jenis insan. (Al A'raf: 189). Tanpa kenyataan ini, maka pertemuan antara sperma dengan ovum hanyalah semata-mata pertemuan antara materi dengan materi. Di sinilah sebenarnya kita mengarahkan sekuat-kuat dugaan. bahwa misteri yang Lerkandung di dalam plasma yang mendasari sel-sel manusia fisik adalah berhubungan erat dengan kerahasiaan nafsin-wahiah ini. Teka-teki ini diperkuat lagi oleh dugaan tentang makna ayat lalu ditetapkan dan ditumpangkan [tempat ketetapan (Sulbi) dan tempat penitipan (Rahim)- Al An'am: 98, Ath Thariq: 4-10]. Dan dugaan semakin bertambah kuat, bahwa apa yang disebut Nuthfah, (sperma, air mani) itu sudah merupakan kesatuan senafas antara nafsin-wahidah dengan materi, yang dengan demikian manusia adalah tersusun dari NafsaniJasmani yang senafas, atau merupakan psiko-fisik yang membentuk pribadi sebagai totalitas. Tentang manusia fisik dari kenyataan materialnya (mani) semua kita dan ilmu kedokteran sudah memberikan pernyataan, bahwa materi yang terpancar dari sulbi laki-laki itu secara anatomis terdiri dari beberapa unsur tertentu. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata ada kegiatan-kegiatan interaksi yang sukar diikuti dimana Alkuran memberi tekanan: Maka hendaklah manusia memperhatikan
(QS AthThariq: 5).
dan: Sudahkah kamu perhatikan apa yang kamu pancarkan itu. Al Waqi'ah: 58).
Selanjutnya, sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pertumbuhan fisik manusia berlangsung 'secara bertahap menuju kesempurnaannya, (Al Mu'minun: 12-14) dan demikian pula dengan perkembangan nafsin yang penuh kerahasiaan itu mendapatkan bagian dengan caranya sendiri dan tersembunyi untuk menuju kesempurnaannya (As Syams: 7-10).
Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk psiko-fisik dalam prosesnya yang kemudian menjadi pokok pembahasan psikologi. Setiap nafsani memiliki potensi, kemampuan, kegiatan, derivat (keadaan yang menurun dari satu sumber, berasal) baik ke dalam (in abstrakto) maupun ke luar (in manifesto) yang direalisasikan oleh kegiatan-kegiatan jasmaniah (in konkreto) yang kesemuanya itu, baik yang bersifat intensional atau konsepsional maupun dalam bentuk realisasi, sumbernya adalah satu, yaitu Nafs (jiwa) dalam kedudukannya sebagal individu atau pribadi, yang ditegakkan (dinafasi) oleh kekuatan metafisik yang kemudian disebut dengan Roh (spirit, nyawa) sehingga daripada kesatuan dwi-unsur ini muncullah tingkah-laku manusia yang sekarang diakui sebagai objek dari psikologi. Jadi, psikologi sekarang adalah Ilmu Nafs suatu cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan latar belakang nafs (jiwa).
PSIKOLOGI
Apakah psikologi dan apa objeknya? Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri, sebab bila dua orang bercakap-cakap tentang dirinya, tentang orang lain, dengan tidak disadari sebetulnya mereka telah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi. Sebab, dimana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasarkan pengalaman dan belum berdasarkan ilmiah. Misalnya kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian .seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk disebut berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif kemudian disusun secara sistematis
rasional.
Jadi, apa psikologi itu sebenarnya? Ilmu adalah dinamis. Karenanya setiap ilmu mempunyai ciri khas, yaitu terus-menerus mendefinisikan diri. Definisi lama diganti dengan batasan haru sesuai dengan kemajuan zaman dan perubahan jalan pikiran manusia, terutama ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Teryata psikologi juga mengikuti jejak itu.
Psikologi (Psyche dan Logos) diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa yang artinya sama yaitu Ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Hanya istilah psikologi merupakah istilah scientific, tetapi Ilmu Jiwa lebih bersifat umum, dan istilah sehari-hari yang sudah banyak dikenal orang. Kemudian, dalam sejarah perkembangannya, arti psikologi menjadi Ilmu yang mempelajari Tingkah laku-manusia. Ini disebabkan oleh jiwa yang mengandung anti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah lakunya.
Sekalipun sekarang ini Para sarjana sudah sepakat bahwa, objek dari psikologi adalah tingkah laku, tetapi mengenai tingkah laku yang bagaimana yang dipelajari psikologi, masih terus menjadi bahan penyelidikan dan pembahasan dari ilmu jiwa. Para ahli yang menitikberatkan pembahasannya pada tingkah laku manusia dewasa, normal dan berbudaya, dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang berlaku pada setiap individu manusia umumnya, maka hal ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI UMUM.
Apabila penyelidikan tingkah laku individu itu dilihat secara lebih mendalam dan dari jarak yang lebih dekat dihubungkan dengan situasinya sehari-hari dan lingkungan serta pengalaman-pengalaman pribadinya, maka sekarang sudah menjadi wewenang PSIKOLOGI KEPRIBADIAN. Dengan psikologi ini kita alcan mengenal watak, karakter, tipe dan kedirian masing-masing individu.
Di sisi lain, kepribadian seseorang tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang secara periodik mulai sejak pranatal hingga tua, dan periode masing-masing menunjukkan tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga ada tingkah laku anakanak, remaja, dewasa dan orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini muncul dari dua kekuatan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan dari dalam diri dan dari luar diri manusia, atau kekuatan dasar dan ajar. Persoalan ini, menjadi bahasan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.
Segi utama yang juga menjadi pokok bahasan ilmu jiwa modern ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Manusia disebut manusia kalau ia sudah berhubungan dengan manusia lain. Bahkan sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan
bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sejak itulah sebenarnya manusia sudah menerima kontak sosial, kemudian secara lambat laun ia mengalami perkembangan yang bukan hanya segi biologisnya tetapi juga secara psikis.. Bahkan menurut para ahli, apabila manusia tidak ada hubungan psikis antara ia dengan ibunya sejak bayi, perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami
hambatan untuk sekian lamanya. Kemudian, setelah ia mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya, ia tidak lagi hanya menerima kontak sosial melainkan juga dapat memberikan kontak sosial. Dari situ pula ia mulai mengerti bahwa di dalam interaksi sosial itu, di dalam kelompoknya itu terdapat norma-norma yang hams dipatuhi dan memahami pula bahwa dirinya ikut serta membentuk norma-norma dan peraturan tertentu, sehinga ia
pun menyadari keberadaannya dan bahwa dirinya mempunyai
peranan, maka ia hams beradaptasi dan bersosialisasi
dengan cara mengebelakangkan keinginan dan kepentingan
Indlividualnya demi kelompoknya. Masalah ini menjadi pokok
bahasan PSIKOLOGI SOSIAL.
Bahwa manusia merupakan makhluk yang ber-Ketuhanan sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi, seperti halnya kehidupan
psikis lainnya yang telah diselidiki dan menjadi pokok
bahasan psikologi itu.
Sebab bagi setiap manusia pada umumnya telah disadari
dan sulit sekali untuk menolak atau mengingkari adanya kepercayaan kepada Tuhan.
Memang, Tuhan itu sulit dibuktikan sem empiris eksperimental oleh mereka yang belum ber-Ketuhanan.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaannya sebagai makhluk yang diciptakan, sukar sekali untuk menerima atau mengakui adanya Tuhan, jadi, berarti sulit sekali baginya untuk menerima hakikat dirinya dari segi kemanusiaannya itu. Kaum
sebenarnya tanpa disadari sudah ber-Ketuhanan walaupun dalam bentuk pertuhanan kepada benda-benda, orang-orang atau gagasan dan ideologi. Sebab hakikatnya mereka adalah orang-orang yang belum menyadari kemanusiaannya. Jadi, dengan begitu secara psikis dapatlah diakui pula bahwa segi manumit* sebagai makhluk ber-Ketuhanan itu dapat dengan sadar atau tidak sadar digerakkan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, Tuhan menurut kaum atheis adalah apa yang dipercayai, apa yang mereka akui sebagai Tuhan. kenyataan ini, kesadaran ber-Ketuhanan - selain mempertuhabkab
selain Tuhan Yang Mahaesa — pengalaman beragama
yang merupakan bagian yang hadir dalarn pikiran dan perasaan itu harus dibahas dalam PSIKOLOGI AGAMA.
Lebih jauh psikologi ini mengemukakan hasil penelitiannya tentang
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara seseorang berpikir, berkehendak dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari kebertuhanannya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masukke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.
"Barang siapa mengenal nafs-nya maka is akan kenal kepada Tuhannya."
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa aspek kejiwaan ikut menyertai kehidupan beragama. Artinya, bagaimana Pikiran, Perasaan, Kehendak (atau jiwa) seseorang secara individual terhadap Tuhannya (agamanya) dapat dilihat dari pengaruhnya pada tingkah lakunya dan sikap hidupnya. Untuk menyeru, mengajak, memanggil jiwa manusia ini, atau meluruskan, mengubah atau mengarahkan tingkah lakunya dan sikap hidupnya ke jalan Allah, maka tugas ini adalah wewenang Ilmu Dakwah. - See more at: http://nurisfm.blogspot.com/2012/03/pengertian-jiwa-dan-roh.html#sthash.WogbN95s.dpuf
RUH DAN JIWA
PENGERTIAN JIWA DAN ROH
Jiwa, dalam bahasa Arab disebut Nafs
, dan dalam bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris. Sedangkan Roh biasanya diterjemahkan dengan Nyawa atau Spirit.
Jadi, sebenarnya, sejak manusia mengalami proses kejadian Sampai sempurna menjadi janin dan dilahirkan ke atas dunia, telah ada unsur lain yang bukan fisik material yang ikut menyusun semua peristiwa penciptaan itu. Justru adanya unsur non-fisik inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya sebagai satu kelebihan. Kelebihan ini akhirnya tampak nyata pada norma-norma nafsiyah (psikologis) dengan segala kegiatannya.
Jadi, apa jiwa itu?
Plato (477-347 sM) berpendapat bahwa jiwa itu adalah sesuatu yang immaterial, abstrak dan sudah ada lebih dahulu di alam praserisoris. Kemudian is bersarang di tubuh manusia dan mengambil lokasi di kepala (logition, pikiran), di dada (thumeticon, kehendak) dan di perut (abdomen, perasaan). Pendapat ini kemudian dikenal dengan istilah Trichotomi. Menurut Plato, ketiga unsur inilah yang mendasari seluruh aktivitas manusia. Dengan kata lain, seluruh kegiatan hidup kejiwaan manusia mempunyai dasar yang kuat pada ketiga unsur tersebut. Sejajar dengan trichotominya, Plato mengatakan bahwa manusia akan memiliki sifat Bijaksana (jika pikiran menguasai dirinya) dan Ksatria atau Berani (jika kehendak menguasai dirinya) serta Kesederhanaan (jika perasaannya tunduk pada akalnya). Maka apabila ketiga sifat itu menguasai manusia,berarti ia telah memiliki kesadaran sebagai manusia. Sadar artinya mengerti secara aktif. Dengan kesadaran inilah, manusia selalu cenderung untuk menentukan sendiri bentuk-bentuk aktivitas hidupnya dan tingkah-laku yang diwujudkannya, maupun finalita dalam kehidupannya.
Aristoteles (384-322 sM) berpendapat lain dari gurunya. Menurut dia jiwa itu adalah daya hidup bagi makhluk hidup. Jadi, di mana ada hidup di situlah ada jiwa. Daya kehendak dan mengenal merupakan dua fungsi jiwa manusia. Kemudian pendapatnya ini dikenal dengan istilah dichotomi. Selanjutnya dia menjelaskan, bahwa jiwa sebagai sesuatu yang abstrak (dunia idea) halus menempati atau berada dalam tubuh (dunia materi) menjadi daya hidup yang nyata, (realita). Karena realisasi dari jiwa ini memang merupakan tujuan untuk membentuk sesuatu (tingkah laku) menurut hakikatnya yang sudah ditentukan terlebih dahulu untuk mencapai suatu tujuan, maka ia menjadi. Menjadi di sini berarti kemungkinan untuk berwujud. Artinya, semua potensi yang ada akan menampak nyata (aktual). Jiwa itulah potensi yang ada dalam tubuh sehingga mengaktualisasi dalam bentuk tingkah-laku. Sebelum tingkah laku itu terwujud, ia masih merupakan kemungkinan (potensial) dan setelah terbentuk atau terjadi maka ia disebut Hule. Setiap kejadian (hule) pasti ada yang menjadikan (Murphe) dengan demikian, dalam diri manusia terdapat unsur Hule-Morpheisme.
Rene Descartes (1596-1656 M) berpendapat bahwa jiwa merupakan Zat Rohaniah, dan tubuh adalah Zat Jasmaniah. Dari zat rohaniah inilah munculnya tingkah laku manusia yang disebut tingkah laku rasional. Sedangkan dari zat jasmaniah itu muncul tingkah laku mekanis. Antara dua zat kejiwaan dan zat ketubuhan itu berada dalam perbedaan yang terpisah, tetapi keduanya dihubungkan dengan adanya kelenjar Pinealis, sehingga rangsang-rangsang ketubuhan dapat diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan sebaliknya. Selanjutnya dia menyatakan bahwa jiwa manusia berpokok pada kesadaran atau akal pikirannya, sedangkan tubuhnya tunduk kepada hukum-hukum alamiah dan terikat kepada nafsu-nafsunya. Paham ini dikenal dengan Dualisme.
Selain Descartes ada sarjana yang berpendapat bahwu untura ketubuhan dan kejiwaan (jiwa dan raga) itu tidak dapat bedakan karena keduanya merupakan kesatuan secara interaksi, dan tidak saling terpisah, tetapi merupakan satu hubungan kausalitas.
Pendapat ini kemudian dikenal dengan teoriMonisme.
Kemudian, apa perbedaan jiwa dengan roh?
Diambil rata, membicarakan masalah roh itu memang kurung menarik perhatian, kecuali beberapa orang tertentu yang memperhatikan dirinya serta ingin memahami fungsi roh pada tubuhnya. Yang mempersoalkan roh pertama kali adalah kaum Yahudi, yang dijawab oleh wahyu:"Katakanlah Muhammad, bahwa roh itu menjadi urusan Tuhanku saja." (QS Al Isra': 85).
Mengapa demikian?
Memang, sampai sekarang masalah roh merupakan ruang kosong dalam analisis dunia sains. Hakikat wujudnya tidak terjaring oleh kemampuan penalaran rasional manusia, apalagi hanya dengan pengamatan mata telanjang. Berpijak pada ayat di atas, para mufassir mencoba memberikan sedikit pengertian tentang roh ini, antara lain:
Ibnu Qayyim al Jauzy menyatakan pendapatnya, bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Kalau tubuh sehat dan menerima bekas-bekas dari jisim halus ini, maka ia akan tetap kekal berjalin dengan tubuh dan menghasilkan beberapa daya atau kemampuan rohaniah. Sebaliknya kalau tubuh itu rusak, maka ia melepaskan diri dan berpisah menuju alam arwah. Akan tetapi ia tidak musnah. Yang mati itu adalah nafs. Jadi, perbedaan antara nafs dan roh adalah perbedaan dalam sifatnya.
Imam Al Gazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian; Roh Jasmaniah dan Roh Rohaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat di ruangan hati (jantung)serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut,- ke seluruh tubuh. Karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghoib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal cirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain, (berkepribadian, ber-Ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah-lakunya. Roh inilah yang memegang komando dalam seluruh hidup dan kehidupannya, karena roh ini yang menerima perintah dari Allah dan larangan-Nya. Tetapi ia bukan jisim, bukan nafs, dan bukan sesuatu yang melekat pada lainnya. Ia merupakan substansi yang wujud, berdiri sendiri, diciptakan, oleh karenanya hanya menjadi urusan Penciptanya saja.
Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa Roh itu memang sesuatu yang ghoib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia. Akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghoib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang m'enutup kemungkinannya. Selanjutnya dia menegaskan bahwa Roh merupakan sesuatu kekuatan ghoib yang menyebabkan -kehidupan pada makhluk hidup. Roh (faktor X) inilah yang berfungsi sebagai penegak nafs. Dalam Alkuran' (Quran) ada 19 ayat tentang roh dengan konteks pembicaraan yang berbeda-beda. Para ulama pun tidak sampai dengan tegas menyatakan pendapatnya apakah roh itu sama dengan nafs, sesuku dengan tubuh, suatu sifat, substansi atau atom yang terlepas samasekali dengan lainnya. Sedangkan ayat yang menyatakan bahwa setelah penciptaan tubuh fisik ini sempurna kemudian Allah meniupkan roh-Nya (Al Hijr: 29), menurut pendapat yang lebih bersifat psikis adalah, terwujudnya pengaruh roh itu pada jasad sehingga jasad kasar ini berfungsi dan melakukan perannya, baik yang berhubungan dengan aspek kejiwaan maupun aspek ketubuhan.
Mempersoalkan tentang sesuatu yang sifatnya ghaib seperti jiwa itu terasa agak ganjil bagi sementara orang, karena, orang
hanya akan mengira-ngirakan kepada sesuatu yang tidak dapat dipegang, diraba, dilihat, ditimbang, diukur bahkan abstrak secara total. Dugaan itu ada benarnya, tetapi, banyak salahnya. Jiwa sebagai sesuatu yang abstrak, bersifat subjektif, bebas dan pribadi, dapat menimbulkan kesadaran, tapi memerlukan hubungan dengan fisik (tubuh). Karenanya ia dapat dipelajari bagaimananya dan tidak dapat diketahui apanya, kebalikan dari wujud Tuhan yang dapat dipelajari apa (wujud)-nya tetapi tidak bisa diketahui bagaimananya. Berbicara tentang manusia dari kejadiannya, tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum penciptaan keseluruhannya. Setiap insan yang beriman sependapat bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan, artinya bukan ada dengan sendirinya. Akan tetapi belum semua manusia sependapat bahwa penciptaan atas manusia itu meliputi jasmani-rohani, lahir-batin, jiwa-raganya, atau keseluruhannya secara utuh. Berbeda dengan logika semu yang ditarik-tarik oleh pola pemikiran insani dalam menetapkan adanya Allah sebagai Maha Pencipta, maka Al Quran ,memakai dalil-dalil aksioma (patokan-patokan yang berdasar kenyataan) dengan tekanan-tekanan yang jelas, sederhana dan mudah dicerna oleh segala tingkat pemikiran mulai dari pemikiran kampungan sampai ke pemikiran filosofis. Orang yang berpikir sederhana pun dapat mengetahui dalil-dalil tersebut dalam garis-garis yang pokok karena kesederhanaan, kejelasan dan keaksiomaan yang terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri. Adapun bagi orangorang alim dan cerdik pandai, maka dalil-dalil tersebut dapat diperdalam secara terinci, yang secara keseluruhan dapat membentuk suatu rumusan pikiran yang tersusun, sehingga pengingkaran terhadapnya sama saja dengan mengingkari terhadap 2 x 2 = 4. Tentang kejadian manusia jasmani dan rohani kita dihadapkan kepada kenyataan adanya aktualita Bina Cipta Ilahi yang bersumber pada dalil aksiomatis ini:
a. Dalil Penciptaan (ikhtira')
Tuhan adalah Pencipta Tunggal atas adanya segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang tidak (lahir-batin). Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Mu'min: 62
b. Dalil Pembinaan (al 'inayah)
Tuhan bukan hanya pencipta kemudian setelah jadi lalu dibiarkan begitu saja berjalan tanpa hukum dan aturan-aturan tertentu. Balk makhluk hidup ataupun benda mati, diikat oleh hukum dan aturan tertentu yang dicipta sebagai proses. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al A'la: 2-3.
c. Dalil Keteraturan (an nidham )
Semua ciptaan Tuhan berada dalam proses (tidak statis), serta berada dalam kadar sebab akibat tertentu. Segala benda itu punya tabiat sendiri-sendiri, berproses secara tetap dan berulang. Kalau keteraturan ini tidak ada, manusia tidak mungkin punya jiwa, dan sebagainya. Informasi tentang ini dapat kita baca dalam Surat Al Furgan: 2.
Adapun penjabaran dan pengembangan proses tentang adanya hukum dan aturan itu, diserahkan kepada kemampuan akal intelek manusia untuk menerjuni selidik sedalam-dalamnya, karena Alkuran memang bukan buku pelajaran yang memuat deretan dalil-dalil fisika, kimia atau biologi, dan bukan pula buku ensiklopedi, juga bukan tujuan Alkuran untuk menuntun manusia kepada ilmu-ilmu pengetahuan melalui pengajaran. Ayat-ayat yang disusun di dalamnya lebih bersifat memberi isyarat akan adanya rangkaian ilmiah yang terdapat di dalam penciptaan alam semesta dan seisinya dan pada diri manusia sendiri, yang sebagian telah berhasil diungkap oleh kemampuan dan potensi psikis manusia, walaupun masih lebih banyak yang belum tergali.
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alkuran (Quran) itu adalah benar." (Fushshilat: 53)
Menanggapi ayat seperti ini, orang yang berpikiran seder-liana pun mudah menangkap bahwa apa yang terdapat pada penciptaan alam semesta dan diri manusia itu sendiri merupakan tanda-tanda adanya Kehendak- Kekuasaan- Kebijaksanaan-ilmuKetelitian- Keseimbangan-Kerapian- Kesengajaan- yang semuanya itu menguatkan adanya Penciptaan yang Dahsyat. Untuk mengarahkan dan memelihara pemahaman semacam inilah kepada manusia diberikan kesadaran yang berpusat pada adanya Jiwa (akal pikiran, kehendak-perasaan) yang dengannya pula manusia dilimpahi kepercayaan serta dibebani kewajiban sehingga hubungan manusia dengan Tuhannya menimbulkan tingkah laku bermotivasi, yang dilatarbelakangi nilai-nilai ibadah.
Tentang mengapa Allah memilih manusia sebagai pelaksana dari amanat-Nya itu adalah karena manusia mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. (Baca: Surat Al Isra': 70). Dan kelebihan itu tampak pada adanya normanorma nafsaniyah (psikologis) dengan segala potensi yang mendukungnya, sehingga manusia yang sadar sepenuh jiwanya, akan mengarahkan seluruh kegiatan hidup kejiwaannya itu menuju taqwa.
"Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafsin wahidah dan menciptakan dari padanya jodohnya, dan mengembangbiakkan dari kedua lakilaki dan wanita yang banyak." (An Nisa': 1)
H. Hassan dan Al Jawahir at Thanthawy, menafsirkan Nafsin Wahidah sama dengan Nabi Adam. Jodohnya ialah Hawa, diciptakan dari Adam (padanya). Demikian pula tafsir Alkuran Departemen Agama Republik Indonesia yang diperkuat dengap hadits riwayat Bukhari Muslim. Akan tetapi dinyatakan pula penafsiran lain yang berpendapat bahwa nafsin-wahidah adalah unsur yang serupa, yakni tanah, yang daripadanya Adam diciptakan.
Maulawi Muhammad Ali (Ahmadiyah Lahore) dalam Quran Suci terjemahan Jawa mengulas, pertama, menurut Abu Ishaq bahwa di kalangan orang Arab perkataan nafs dipakai dua macam arti, yaitu seperti Roh atau Jiwa. Kedua, berarti: Kesatuan sesuatu, berserta sarinya, yang dari padanya juga terjadinya jodoh. Jadi, nafs di sini berarti jenis yang berarti sari (sari yang sejenis: an Nahl, 72).
H. Zainuddin Hamidy cs dalam tafsir Qurannya berpendapat, bahwa nafs berarti jenis atau bangsa manusia.
Syekh M. Abduh dalam tafsir Al Manar menerangkan bahwa nafs wahidah itu bukan Adam, buktinya ada ayat wa batstsa min humaa rijalan katsiran wa nisaa an. Kata Sayid Rasyid Ridla, kalau ditafsirkan dengan Adam, tidak ada alasan dari nash ayat melainkan hanya menerima dari masalah bahwa Adam adalah ayah sekalian manusia.
Prof. Hasby .Ash Shiddiqi dalam tafsir An Nur hanya mengatakan diri yang satu yaitu insan yang dari padanya asal keturunan yang lain.
Al Fatkhur Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kejadian Adam dan Hawa tidak didapat suatu dalil yang qath'i (pas), bagaimananya dan apanya, sebab Alkuran hanya menerangkan secara global saja. Tentang penafsiran selanjutnya tidak sampai kepada asal kejadian itu.
Terlepas dari bermacam-macamnya penafsiran, kami memilih
kepada apa yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, yakni mod kejadian yang sejenis. yang daripadanya manusia pertama beserta jodohnya diciptakan, kemudian dari keduanya ini keturunan-keturunan yang sejenis pula (jenis insan).
Dengan demikian maka isyarat yang dapat ditangkap dari padanya dapat mengantarkan kepada pengenalan dan pengertian
kita dalam bentuk struktural dan fungsional. Sesuatu yang bisa dijelaskan dari isyarat itu dan yang telah dikembangkan bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahwa di dalam kerahasiaan nafsin-wahidah ini, dia bersifat Hereditair, Terus-menerus berketurunan pada kesam aan jenisnya, dalam hal Ini jenis insan. (Al A'raf: 189). Tanpa kenyataan ini, maka pertemuan antara sperma dengan ovum hanyalah semata-mata pertemuan antara materi dengan materi. Di sinilah sebenarnya kita mengarahkan sekuat-kuat dugaan. bahwa misteri yang Lerkandung di dalam plasma yang mendasari sel-sel manusia fisik adalah berhubungan erat dengan kerahasiaan nafsin-wahiah ini. Teka-teki ini diperkuat lagi oleh dugaan tentang makna ayat lalu ditetapkan dan ditumpangkan [tempat ketetapan (Sulbi) dan tempat penitipan (Rahim)- Al An'am: 98, Ath Thariq: 4-10]. Dan dugaan semakin bertambah kuat, bahwa apa yang disebut Nuthfah, (sperma, air mani) itu sudah merupakan kesatuan senafas antara nafsin-wahidah dengan materi, yang dengan demikian manusia adalah tersusun dari NafsaniJasmani yang senafas, atau merupakan psiko-fisik yang membentuk pribadi sebagai totalitas. Tentang manusia fisik dari kenyataan materialnya (mani) semua kita dan ilmu kedokteran sudah memberikan pernyataan, bahwa materi yang terpancar dari sulbi laki-laki itu secara anatomis terdiri dari beberapa unsur tertentu. Akan tetapi kalau ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata ada kegiatan-kegiatan interaksi yang sukar diikuti dimana Alkuran memberi tekanan: Maka hendaklah manusia memperhatikan
(QS AthThariq: 5).
dan: Sudahkah kamu perhatikan apa yang kamu pancarkan itu. Al Waqi'ah: 58).
Selanjutnya, sebagaimana kita maklumi bersama bahwa pertumbuhan fisik manusia berlangsung 'secara bertahap menuju kesempurnaannya, (Al Mu'minun: 12-14) dan demikian pula dengan perkembangan nafsin yang penuh kerahasiaan itu mendapatkan bagian dengan caranya sendiri dan tersembunyi untuk menuju kesempurnaannya (As Syams: 7-10).
Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk psiko-fisik dalam prosesnya yang kemudian menjadi pokok pembahasan psikologi. Setiap nafsani memiliki potensi, kemampuan, kegiatan, derivat (keadaan yang menurun dari satu sumber, berasal) baik ke dalam (in abstrakto) maupun ke luar (in manifesto) yang direalisasikan oleh kegiatan-kegiatan jasmaniah (in konkreto) yang kesemuanya itu, baik yang bersifat intensional atau konsepsional maupun dalam bentuk realisasi, sumbernya adalah satu, yaitu Nafs (jiwa) dalam kedudukannya sebagal individu atau pribadi, yang ditegakkan (dinafasi) oleh kekuatan metafisik yang kemudian disebut dengan Roh (spirit, nyawa) sehingga daripada kesatuan dwi-unsur ini muncullah tingkah-laku manusia yang sekarang diakui sebagai objek dari psikologi. Jadi, psikologi sekarang adalah Ilmu Nafs suatu cabang ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan latar belakang nafs (jiwa).
PSIKOLOGI
Apakah psikologi dan apa objeknya? Jawaban pertanyaan di atas sebenarnya terdapat di dalam diri manusia sendiri, sebab bila dua orang bercakap-cakap tentang dirinya, tentang orang lain, dengan tidak disadari sebetulnya mereka telah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi. Sebab, dimana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasarkan pengalaman dan belum berdasarkan ilmiah. Misalnya kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian .seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk disebut berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih objektif kemudian disusun secara sistematis
rasional.
Jadi, apa psikologi itu sebenarnya? Ilmu adalah dinamis. Karenanya setiap ilmu mempunyai ciri khas, yaitu terus-menerus mendefinisikan diri. Definisi lama diganti dengan batasan haru sesuai dengan kemajuan zaman dan perubahan jalan pikiran manusia, terutama ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Teryata psikologi juga mengikuti jejak itu.
Psikologi (Psyche dan Logos) diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa yang artinya sama yaitu Ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Hanya istilah psikologi merupakah istilah scientific, tetapi Ilmu Jiwa lebih bersifat umum, dan istilah sehari-hari yang sudah banyak dikenal orang. Kemudian, dalam sejarah perkembangannya, arti psikologi menjadi Ilmu yang mempelajari Tingkah laku-manusia. Ini disebabkan oleh jiwa yang mengandung anti yang abstrak itu sukar dipelajari secara objektif. Di samping itu keadaan jiwa seseorang melatarbelakangi timbulnya hampir seluruh tingkah lakunya.
Sekalipun sekarang ini Para sarjana sudah sepakat bahwa, objek dari psikologi adalah tingkah laku, tetapi mengenai tingkah laku yang bagaimana yang dipelajari psikologi, masih terus menjadi bahan penyelidikan dan pembahasan dari ilmu jiwa. Para ahli yang menitikberatkan pembahasannya pada tingkah laku manusia dewasa, normal dan berbudaya, dengan sifat-sifat dan ciri-ciri yang berlaku pada setiap individu manusia umumnya, maka hal ini menjadi pokok bahasan PSIKOLOGI UMUM.
Apabila penyelidikan tingkah laku individu itu dilihat secara lebih mendalam dan dari jarak yang lebih dekat dihubungkan dengan situasinya sehari-hari dan lingkungan serta pengalaman-pengalaman pribadinya, maka sekarang sudah menjadi wewenang PSIKOLOGI KEPRIBADIAN. Dengan psikologi ini kita alcan mengenal watak, karakter, tipe dan kedirian masing-masing individu.
Di sisi lain, kepribadian seseorang tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan berkembang secara periodik mulai sejak pranatal hingga tua, dan periode masing-masing menunjukkan tingkah laku sendiri-sendiri, sehingga ada tingkah laku anakanak, remaja, dewasa dan orang tua. Pertumbuhan dan perkembangan ini muncul dari dua kekuatan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan dari dalam diri dan dari luar diri manusia, atau kekuatan dasar dan ajar. Persoalan ini, menjadi bahasan PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.
Segi utama yang juga menjadi pokok bahasan ilmu jiwa modern ialah bahwa manusia secara hakiki merupakan makhluk sosial. Manusia disebut manusia kalau ia sudah berhubungan dengan manusia lain. Bahkan sejak ia dilahirkan, ia membutuhkan
bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sejak itulah sebenarnya manusia sudah menerima kontak sosial, kemudian secara lambat laun ia mengalami perkembangan yang bukan hanya segi biologisnya tetapi juga secara psikis.. Bahkan menurut para ahli, apabila manusia tidak ada hubungan psikis antara ia dengan ibunya sejak bayi, perkembangan dan pertumbuhannya akan mengalami
hambatan untuk sekian lamanya. Kemudian, setelah ia mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya, ia tidak lagi hanya menerima kontak sosial melainkan juga dapat memberikan kontak sosial. Dari situ pula ia mulai mengerti bahwa di dalam interaksi sosial itu, di dalam kelompoknya itu terdapat norma-norma yang hams dipatuhi dan memahami pula bahwa dirinya ikut serta membentuk norma-norma dan peraturan tertentu, sehinga ia
pun menyadari keberadaannya dan bahwa dirinya mempunyai
peranan, maka ia hams beradaptasi dan bersosialisasi
dengan cara mengebelakangkan keinginan dan kepentingan
Indlividualnya demi kelompoknya. Masalah ini menjadi pokok
bahasan PSIKOLOGI SOSIAL.
Bahwa manusia merupakan makhluk yang ber-Ketuhanan sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi, seperti halnya kehidupan
psikis lainnya yang telah diselidiki dan menjadi pokok
bahasan psikologi itu.
Sebab bagi setiap manusia pada umumnya telah disadari
dan sulit sekali untuk menolak atau mengingkari adanya kepercayaan kepada Tuhan.
Memang, Tuhan itu sulit dibuktikan sem empiris eksperimental oleh mereka yang belum ber-Ketuhanan.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan itu tidak ada. Dan bagi mereka yang belum sadar akan segi kemanusiaannya sebagai makhluk yang diciptakan, sukar sekali untuk menerima atau mengakui adanya Tuhan, jadi, berarti sulit sekali baginya untuk menerima hakikat dirinya dari segi kemanusiaannya itu. Kaum
sebenarnya tanpa disadari sudah ber-Ketuhanan walaupun dalam bentuk pertuhanan kepada benda-benda, orang-orang atau gagasan dan ideologi. Sebab hakikatnya mereka adalah orang-orang yang belum menyadari kemanusiaannya. Jadi, dengan begitu secara psikis dapatlah diakui pula bahwa segi manumit* sebagai makhluk ber-Ketuhanan itu dapat dengan sadar atau tidak sadar digerakkan oleh suatu objek yang bukan merupakan Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, Tuhan menurut kaum atheis adalah apa yang dipercayai, apa yang mereka akui sebagai Tuhan. kenyataan ini, kesadaran ber-Ketuhanan - selain mempertuhabkab
selain Tuhan Yang Mahaesa — pengalaman beragama
yang merupakan bagian yang hadir dalarn pikiran dan perasaan itu harus dibahas dalam PSIKOLOGI AGAMA.
Lebih jauh psikologi ini mengemukakan hasil penelitiannya tentang
pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara seseorang berpikir, berkehendak dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari kebertuhanannya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masukke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.
"Barang siapa mengenal nafs-nya maka is akan kenal kepada Tuhannya."
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa beberapa aspek kejiwaan ikut menyertai kehidupan beragama. Artinya, bagaimana Pikiran, Perasaan, Kehendak (atau jiwa) seseorang secara individual terhadap Tuhannya (agamanya) dapat dilihat dari pengaruhnya pada tingkah lakunya dan sikap hidupnya. Untuk menyeru, mengajak, memanggil jiwa manusia ini, atau meluruskan, mengubah atau mengarahkan tingkah lakunya dan sikap hidupnya ke jalan Allah, maka tugas ini adalah wewenang Ilmu Dakwah. - See more at: http://nurisfm.blogspot.com/2012/03/pengertian-jiwa-dan-roh.html#sthash.WogbN95s.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar